Handoko, seorang bapak berusia 43 tahun, telah lebih dari 15 tahun bekerja sebagai staf operasional di sebuah perusahaan logistik. Setiap harinya dihabiskan dengan aktivitas fisik yang padat—mengatur barang, mengecek pengiriman, dan kadang harus lembur hingga larut malam. Rasa lelah bukan hal baru baginya, tapi akhir-akhir ini tubuhnya mulai terasa kalah oleh waktu. Pulang kerja pun sering ia lalui dalam diam, hanya ingin cepat sampai rumah. Namun, suatu malam sepulang lembur, ia iseng mampir ke sebuah kedai kecil bernama Kopi Tuku di pinggir jalan.
Ia memesan kopi susu tetangga, lalu duduk sebentar di bangku kayu sambil menunggu hujan reda. Ketika menyeruput kopi hangat itu, ada sesuatu yang berbeda—rasa sederhana tapi jujur, seperti mengingatkannya pada kampung halaman dan masa muda. Ia membaca kutipan kecil di cangkirnya: “Yang penting konsisten, meski pelan.” Kata-kata itu menancap di benaknya. Ia teringat bahwa kerja kerasnya, meski sering tak terlihat, adalah bagian penting dari kehidupan keluarganya. Sejenak, lelahnya seperti mendapat tempat untuk beristirahat.
Sejak malam itu, Handoko mulai menjadikan kopi Tuku sebagai teman pulangnya. Ia merasa ada semangat baru dalam setiap tegukan—bukan hanya dari kafeinnya, tapi dari filosofi yang dibawa. Lembur tetap berat, tubuh tetap lelah, tapi sekarang ia menjalaninya dengan hati yang lebih ringan. Ia sadar bahwa dalam kesederhanaan ada kekuatan, dan dalam rutinitas yang sama setiap hari, ada kebanggaan yang tak selalu perlu dilihat orang. Baginya, kopi Tuku bukan hanya pelepas dahaga, tapi pengingat bahwa kerja kerasnya berart